Thursday, February 8, 2018

UNTUK SUATU MASA



Oleh LA ODE MUHAMMAD SA'BAN ISA, S.FIL.I (Isban Pena Sukma)

Tulisan ini ditulis semasa hidupnya, kini Sang Penulis telah kembali ke pangkuan Illahi Rabbi.
Semoga Allah, selalu mencintai & mengasihinya.

Ditulis kembali oleh Sang Adik, tanpa merubah sedikitpun kalimat-kalimatnya.

UNTUK SUATU MASA

Dua bola mata ayu menatap lepas hamparan selat Buton, tersapu baling-baling Sagori seiring ayunan gelombang yang ia rasakan seirama. Tatapan itu kadang berbinar, terkadang sayu. Ujung bibirnya kadang membentuk garis lurus juga kadang terlihat melengkung seolah tengah memutar sebuah memori ingatan dalam layar tatapan tajamnya. Tatapannya enggan berkedip tersekat lapisan jendela Sagori persis di samping tempat duduknya.

Entah berapa kilometer sudah ujung dermaga Raha terpisah genggaman Sagori yang beberapa menit yang lalu mesra membelainya, seiring riuh langkah penumpang yang turun dan yang baru naik. Di ujung dermaga itu jualah kisah kenangan tentang kampung halaman yang ditinggalkan tersimpan rapi yang kelak akan dibuka kembali ketika Sagori membawanya kembali. Di ujung dermaga itulah air mata kasih Sang Bunda melepas mesra si buah hati.

Sepasang seorang Ibu separuh baya tak berkedip memperhatikan ekspresi Sang Gadis. Lama tak ada kata, hingga akhirnya mukaddimah lisannya terlontarkan sudah, “Nak, hendak ke Kendari, ya…?”. Tampak raut keterkejutan, namun sesaat ekspresinya jernih kembali bersama tersunggingnya seulas senyum dari bibir mungilnya. Tepat berhadapan dengan Sang Ibu yang kebetulan duduk di sampingnya. “Iya Bu. Saya baru saja tamat SMA dan hendak melanjutkan kuliah ke Kendari”.

“Baru kali ini ke Kendari…?”

“Saya pernah dua kali ke Kendari ketika SMA. Hanya saja ini baru kali pertama saya merasakan terpisah jauh dari orang tua dan sanak keluarga. Mungkin karena waktunya yang akan lama”.

Terasa kedua bola matanya lembab oleh titik bening yang seolah akan jatuh bebas menetes di kedua pipinya. Sekuat tenaga ia berusaha agar titik-titik bening itu kembali ke kantongnya, tak keluar. Kembali tatapannya terbuang jauh ke Pulau Biru ujung samudera. Sebuah layar lebar membentang kembali dalam lintasan angannya. Senyum orang-orang terdekat melintas satu per satu ibarat warna pelangi dalam kompilasinya. Terlintas suara alami kampung halaman yang baru kali ini ditinggalkan untuk (mungkin) waktu yang lama. Suara bocah-bocah mungil yang setiap sore asyik bermain di pekarangan rumah sirna berganti suara mesin Sagori yang membawanya jauh dari semua kisah-kisah itu.

“Sepertinya Nak ini sedih sekali”.

“Aku juga heran, Bu. Tiba-tiba saja perasaan haru ini datang”.

“Perasaanmu itu wajar, Nak. Berpisah dengan orang-orang terdekat begitu menyentuh sisi-sisi ruang keharuan kita. Ibu punya 6 orang anak. Tapi semuanya begitu jauh, seolah mereka tak ada. Yang kedua orang terkakak sudah menikah dan ikut suami. Yang ketiga sudah bekerja dan sekarang tinggal di Jakarta. Ketiga adik mereka sementara kuliah, 2 di Makasar dan yang paling bungsu di Kendari. Sering Ibu membayangkan jika mereka berkumpul kembali”.

Seulas senyum kontras dengan binar matanya mengiring tatapannya yang jauh, di balik jendela Sagori.

“Tapi mungkin Nak, tak akan ada kerinduan tanpa perpisahan. Nikmatnya kerinduan jika ada perpisahan. Tak taulah Nak. Memang begitu misterius hidup ini”.

Sebait kalimat tanpa tutur, hanya dalam hati…………………..

“Benar Ibu. Terkadang kita tak ingin berpisah dengan orang-orang yang kita cintai. Tapi mungkin itu ‘tlah tertulis dalam skenario hidup. Agar kerinduan hadir… Agar rasa sayang semakin tulus. Kado rindu ini kan ku tumpahkan untuk suatu masa”.




EmoticonEmoticon