Friday, May 26, 2017

Menjadikan Sulawesi Tenggara sebagai Pelopor Kebangkitan Pangan Indonesia



Oleh: Irwan Saputra SH

Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan muslim yang dijuluki sebagai bapak sosiologi lahir pada 27 Mei 1332 di Tunisia, dalam nasehatnya tentang pijakan dasar teori siklus hidup dalam konteks relasi sosial mengatakan bahwa manusia hanya mungkin bertahan hidup dengan bantuan makanan, maka upaya mendapatkan makanan merupakan satu bentuk keharusan sebagai eksistensi kehidupan di dunia, namun setidaknya dalam rangka mendapatkan makanan yang sedikit dalam waktu sehari saja, harus melalui rangkaian proses produksi yang memerlukan banyak pekerjaan dan melibatkan banyak komponen dalam satu rangkaian produksi yang panjang. Memaknai apa yang disampaikan Ibnu Khaldun tujuh abad lalu itu yang merupakan gambaran force casting mengenai pentingnya ketahan pangan sebagai salah satu persoalan yang bakal menentukan kelangsungan hidup umat manusia.

Setelah PBB mencatat manusia yang ke 7 miliar dilahirkan pada senin 31 Oktober 2011 lalu hingga mengakibatkan isu global perlahan bergeser kearah isu pangan, khususnya keamanan pangan yang tidak aneh jika memunculkan pertanyaan bahwa mungkinkah terjadi gesekan fisik antara umat manusia di planet biru ini karena makanan atau lahan pertanian? Pertanyaan ini tampak sederhana, tapi menjelma menjadi sebuah pertanyaan krusial yang menghujam dibenak kita yang hidup di era saat manusia telah kian mengalami pertumbuhan yang tak terkendali.

Di Indonesia, angka kelahiran cukup tinggi. Pertumbuhan penduduknya mencapai 6 juta jiwa per tahun sehingga bangsa agraris ini pun tak luput dari intaian kerawanan pangan. bahkan beberapa peristiwa kenaikan harga pangan seperti cabe, jengkol, beras, daging, sapi, kedelai, dan berbagai jenis pangan yang harganya meleset secara mengejutkan, merupakan lampu kuning atas kebijakan pangan di negeri ini. Menurut catatan badan pangan dunia FAO atau Food and Agriculture Organization, 1 dari 8 penduduk di muka bumi ini menderita kelaparan karena tidak mampu mengakses pangan. Indonesia dengan jumlah populasi mencapai 259 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 1,49 persen pertahun menyebabkan kebutuhan pangan terus meningkat. Sebaliknya tren kebutuhan pangan ini malah tidak diimbangi kemampuan produksi, dibarengi dengan kebijakan pembangunan ekonomi yang hanya menumbuhkan harapan belaka. Realitasnya dari tahun ke tahun pemerintah hanya mengandalkan pangan impor bahkan pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri, pun tak luput dari impor  dan saat ini tak bisa dipungkiri jika Indonesia menjadi importir pangan terbesar ke dua di dunia setelah Mesir.

Secara visioner kita bisa memproyeksikan jika sektor pertanian dan pangan bakal menjadi variabel penting untuk mengungkit daya tawar suatu wilayah dalam percaturan global. dimasa depan saat kebutuhan pangan semakin tinggi, wilayah-wilayah berbasis pertanianlah yang akan paling diperhitungkan-selain produsen energi dan minyak, pangan yang akan menjadi benteng terakhir menentukan eksistensi populasi manusia di muka bumi ini yang pada saatnya nanti, pangan adalah penentu stabilitas suatu negara dan dunia.

Dengan membaca fakta-fakta diatas seolah menggambarkan  awal mula krisis pangan di dunia bahkan bisa jadi melahirkan hipotesis bahwa suatu saat umat manusia akan terlibat perang karena memperebutkan bahan makanan, ini bakal terjadi jika saat ini manusia yang tinggal di muka bumi ini tidak memiliki "paradigma" yang mendorong pembangunan sektor pertanian secara konseptual dan berkesinambungan.
Dalam konteks keindonesiaan,

Dari tahun ke tahun, ada sebuah ritual di sektor pangan. Menjelang ramadhan harga-harga kebutuhan pokok merangkak bahkan ada yang meroket naik. Harga beras misalnya menyentuh level yang fantastis yaitu naik sekitar belasan persen lebih mahal dari harga rata-rata nasional sebelum ramadhan. Bila beras yang semestinya masih dibawah kontrol pemerintah saja sedemikian (berharga) liar, maka pangan lain seperti sayur dan buah yang nyaris bergantung pada impor, tentu akan jauh lebih dramatis lagi, demikian halnya gula pasir dan terigu.

Wilayah Indonesia sangat luas, terbentang dari Sabang sampai Merauke, yang tentunya kenaikan harga tak hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Tapi sampai ke pelosok-pelosok negeri semisal daerah-daerah pelosok yang berada diwilayah hukum Sulawesi Tenggara, maka mestinya pemerintah menaruh perhatian besar terhadap persoalan ini dan tentunya harus memiliki ramuan jitu berupa inovasi dalam menjawab ritual-harga pangan yang tak berkesudahan.

Dalam skala Sulawesi Tenggara, Selain kebijakan politik pangan dari pusat yang tumpul terhadap nasib petani dan pertanian di daerah-pelosok. Saat ini, di tengah-tengah masyarakat juga berkembang stigma bahwa pertanian tak menjanjikan kesejahteraan sehingga mendorong masyarakat yang awalnya bekerja di sektor pertanian lebih memilih untuk melakukan urbanisasi-mencari penghidupan di kota, atau alternatif lain masuk sebagai karyawan industri perusahan tambang milik asing di daerah kabupaten yang ada di Sulawesi Tenggara. Alasannya sederhana, mereka lebih merasa sukses karena tidak lagi melanjutkan kebiasaan keluarga sebagai petani yang identik dengan kemiskinan.

Restorasi Harkat Martabat Pertanian di Timur Indonesia, Sulawesi Tenggara
Prof. Dr. H Laode Masihu Kamaluddin Msc., M.eng mantan Rektor Unissula-Semarang yang kini mejabat sebagai Rektor Universitas Lakidende (Unilaki) sekaligus sebagai konseptor Smart Village dan Agroindustri Unilaki hadir di tengah-tengah masyarakat untuk mejawab apa yang menjadi tantangan dan problem dari banyak problem yang ada. melalui lembaga perguruan tinggi yang dipimpinnya tepat berkedudukan di konawe, Sulawesi Tenggara, dengan teknologi Green House yang diklaim sebagai inovasi industri pertanian masa depan yakni sebagai salah satu lembaga pendidikan yang saat ini sedang naik daun, inovasi Unilaki diharapkan mampu dioptimalkan Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam menerapkan pola Green House ini untuk kemasalahatan petani guna menjadikan provinsi Sulawesi Tenggara sebagai sektor utama yang tak hanya mengandalkan hasil panennya, namun juga unggul dari bidang teknologi.
Staf ahli Menristek bidang Relevansi dan Produktivitas, Agus Puji Prasetyono dalam kunjungannya, beberapa pekan lalu (minggu 7/4/2017) mengatakan, sudah saatnya pemerintah membuka diri terhadap kemajuan-kemajuan yang ada di sekitarnya. Tentunya pola Green House milik Unilaki haruslah segera dimaksimalkan penggunaannya dengan secepatnya menerapkan pola ini pada petani-petani di Sulawesi Tneggara
“Ini bukan hanya soal penemuan, tapi ini manfaat yang dapat dirasakan masyarakat, sebab dengan konsep ini masyarakat akan mampu memaksimalkan hasil pertanian mereka.” Ujar Agus yang ditemui usai meninjau Lokasi Green House. Pola Green House ini akan dijadikan program nasional, sehingga penerapan teknologi pertanian ini bisa merata di seluruh nusantara, tentu saja Unilaki sebagai nahkodanya. Sehingga manfaat yang dirasakan tak hanya di wilayah-wilayah tertentu tapi bisa merata. Kita harapkan konsep ini bisa menjadikan pertanian kita menjadi lebih baik. Pemerintah harus mampu mengambil resiko untuk berpihak pada kemajuan, itulah dinamika politik yang sesunguhnya. Tujuannya tentu agar semua bisa menikmati hasilnya, khususnya petani.” Kata Agus.
Menurut Prof laode ikhtiar pembangunan proyek peradaban yang di geluti ini melalui Smart Village dan Agroindustri adalah tidak hanya berarti sebagai keadaan terjaminnya ketersediaan dan stabilitas pangan, tetapi juga akan jauh menukik pada persoalan ekonomi, politik, pendidikan, pertumbuhan ekonomi, laju pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim, maka setidaknya jika sektor pertanian di konsepkan secara matang dan dikelola dengan baik, bahkan semua potensi-potensi pertanian bila perlu bersama bidang kelautan dikerahkan secara optimal di Sulawesi Tenggara maka lebih dari 259 juta penduduk Indonesia kebutuhan perutnya akan tersuplai berkat satu ikhtiar ini.


Oleh karena itu, kiranya tidak berlebihan ketika masyarakat Sulawesi Tenggara bertekad agar bagaimana tokoh akademis satu ini yang memiliki gagasan besar di barengi kerja nyata-turun gunung dalam rangka memegang kepemimpinan "satu" Sulawesi Tenggara melalui kontes pilkada serentak 2018 mendatang, tentu dengan harapan kepemimpinan yang mendorong kebaikan para petani dan nelayan yang masih mau berpeluh di sawah, ladang dan mengarungi gelombang diatas kedalaman samudera, sebab petani dan nelayan adalah pekerjaan mulia meski hari ini terpampang fakta ironi keberadaan petani dan nelayan sebagai ujung tombak kedaulatan pangan negeri ini, nyaris tak di ikuti pembelaan dan penghargaan kongkret. Dan LMK hadir untuk menjawab semua itu.


Penulis adalah mantan ketua departemen kajian strategi KAMMI komisariat Unissula periode 2016 sekaligus mahasiswa alumnus program beasiswa cerdas sultraku asal Bombana.


1 comment:


EmoticonEmoticon